Source : Keepo.com
Pernah dengar ceramah salah seorang ustad. Dengarnya lewat rekaman audio. Well menurutku ini rekaman sangat berguna, jadi bukan hanya mereka yang menghadiri majelis ilmu yang mendengarkan tapi semua yang menerima file itu juga bisa turut mendengarkan. Insya Allah amalnya terus bertambah, terus bertambah….
Ok, tadi mau cerita apa. Ya, baiklah, salah satu bagian dari ceramahnya itu adalah… Ada seorang anak yang dititipkan oleh orang tuanya di sebuah pesantren. Orang tuanya ini adalah seorang pejabat yang terpandang namanya (high class-lah). Kiai yang menerima dititipkan harapan agar anak itu dapat lebih baik akhlaknya dan tentu ilmu keislamannya semakin baik. Sang Kiai tidak langsung mengajarkan ilmu kepada anak pejabat itu. Sang Kiai justru menyuruh anak itu membersihkan masjid dan kamar mandi setiap hari selama beberapa minggu. Jadi pelajaran pertama yang diberikan Pak Kiai untuk membuang rasa angkuh anak itu karena anak pejabat biasanya ingin diperlakukan istimewa, maka membuatnya merasa sama kedudukannya dengan yang lain adalah hal yang paling utama sebelum ia menerima pelajaran utama di pesantren.
Nah, beberapa hari yang lalu. Seorang dosen kami yang baru pertama mengisi kuliah pada hari itu memulai dengan cara yang agak berbeda dari dosen-dosen lainnya. Beliau membuka kuliah dengan menunjukkan beberapa ebook-ebook penting dan bermanfaat untuk dipelajari dan menjelaskan manfaat dari setiapnya. Kemudian beliau bertanya ini itu seputar mata kuliah dan kami seringkali menjawab “Lupa”. Oya kami memanggilnya pak Budi. Pak Budi lalu menunjukkan kenapa kami begitu mudah. Kenapa lebih banyak lupa? Itu karena kita tidak memakai hati. Ok, beliau mengambil sebuah contoh.
“Mas Sam, permainan apa yang paling diingat sampai saat ini,?”
“…., Main bentengan,”
“Bentengan itu seperti apa?”
Kemudian mas Sam menjelaskan dengan detailnya permainan itu
Pak Budi kembali bertanya “Itu berapa tahun yang lalu?”
“Waktu SD tahun 95, sekitar 19 tahun yang lalu”.
Nampaknya satu contoh belum cukup, pak Budi kemudian menanyakan kepada seorang Ibu yang usia 40 tahun.
“Ibu Leli, hal apa yang paling ibu senangi sewaktu kecil”
“Orang tua saya sering membeli buku dongeng.
“Dongeng yang paling ibu ingat sampai sekarang ?”
“Lima sekawan”
“Bisa ceritakan tentang buku itu?
Ibu Leli nampaknya sudah tidak begitu ingat lagi.
“Kalau begitu, masih ingat kalau salah satu tokohnya punya seekor anjing peliharaan?”
“Iya…”
“Itu sudah berapa tahun yang lalu?”
“Sudah lebih dari 25 tahun yang lalu”
Sudah lama sekali kawan, tapi memori masa kecil yang dilakukan sepenuh hati itu masih terekam meskipun tak begitu jelas lagi.
Kata Pak Budi “Belajarlah dengan menggunakan ini (Qalbu), Insya Allah tak akan mudah terlupakan!”
Well Pak Kiai dan Pak Budi memiliki cara yang sama dalam hal yang berbeda. Mereka memulai pembelajaran dengan membuka hati santri dan mahasiswanya sebelum masuk pada bagian inti pelajaran. Cara yang mungkin tak sering kita jumpai pada guru-guru kita.
Ok. Buka hati, Buka hati, Buka hati!
“Dan sungguh akan kami isi nereka Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami Ayat-ayat Allah…” Al-Araf 179
Purwokerto,1 Ramadhan 1436 H/ 18 Juni 2015